Kamis, 12 September 2013

Janji Tergantung


                Sudah kucoba berkali tuk pergi dari raga dan jiwanya. Sulit sekali aku lepas meski sudah berusaha memaksa diri, menyeret-nyeret tubuh dan hati ini untuk meninggalkan segala kenangan manis saat bersamanya.

                Segala janji berdua, yang kurasa akan tetap kekal di dada masing-masing menurutku akan amat butuh usaha lebih kuat dan lebih besar lagi dari yang biasa dilakukan sebelumnya untuk dilupakan.

                “Ini jari manisku, tanda aku sungguh-sungguh ingin menjagamu sampai semampu yang aku bisa. Menjadikanmu puteri di hidupku. Kau begitu berarti di diriku.”

                Bima memang dengan penuh kesungguhan mengatakannya. Tak hanya bibirnya saja bahkan yang bersangsi, tapi sorot mata tajamnya juga ikut andil di dalamnya. Tatapan itu begitu jujur dan penuh kasih tentunya. 

                “Ya, aku bersedia jadi bagian dari hidupmu, menemanimu hingga batas waktu yang Tuhan tentukan untuk kita. Semoga yang terindah tetap jadi yang terbaik,” kataku.

                Acungan jari kelingking yang saling berkait satu sama lain menjadi bukti bersatunya cinta kami berdua.

                Setahuan kemudian...

                Kita berpisah, dengan hati masih saling ketergantungan. Dia adalah candu bagiku, aku juga candu baginya, katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar