Sudah
kucoba berkali tuk pergi dari raga dan jiwanya. Sulit sekali aku lepas meski
sudah berusaha memaksa diri, menyeret-nyeret tubuh dan hati ini untuk
meninggalkan segala kenangan manis saat bersamanya.
Segala
janji berdua, yang kurasa akan tetap kekal di dada masing-masing menurutku akan
amat butuh usaha lebih kuat dan lebih besar lagi dari yang biasa dilakukan
sebelumnya untuk dilupakan.
“Ini
jari manisku, tanda aku sungguh-sungguh ingin menjagamu sampai semampu yang aku
bisa. Menjadikanmu puteri di hidupku. Kau begitu berarti di diriku.”
Bima
memang dengan penuh kesungguhan mengatakannya. Tak hanya bibirnya saja bahkan
yang bersangsi, tapi sorot mata tajamnya juga ikut andil di dalamnya. Tatapan
itu begitu jujur dan penuh kasih tentunya.
“Ya,
aku bersedia jadi bagian dari hidupmu, menemanimu hingga batas waktu yang Tuhan
tentukan untuk kita. Semoga yang terindah tetap jadi yang terbaik,” kataku.
Acungan
jari kelingking yang saling berkait satu sama lain menjadi bukti bersatunya
cinta kami berdua.
Setahuan
kemudian...
Kita
berpisah, dengan hati masih saling ketergantungan. Dia adalah candu bagiku, aku
juga candu baginya, katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar